Jumat, 11 Februari 2011

ILEGAL LOOGING OELBESAK DAN KEGAGALAN PEMERINTAH


ILEGAL LOOGING OELBESAK DAN KEGAGALAN PEMERINTAH
Oleh : SIMON SEFFI *


  
Tuntutan maksimal 10 tahun penjara dan denda maksimal 5 milyar telah divoniskan hakim terhadap empat orang tua asal desa Silu, kecamatan Fatuleu, kabupaten Kupang yang didakwa telah melakukan illegal looging dalam kawasan yang rancu hutan lindung atau tidak pada sidang pertama dengan agenda mendengarkan dakwaan jaksa pada sidang tanggal 10 februari 2011. Siapapun kita, pasti akan segera melupakan euphoria kunjungan presiden jika turut menyaksikan tangisan tubuh renta ke empat orang kakek yang didakwa yang sebenarnya telah mengantongi ijin Prosedural ketika melakukan penebangan untuk kepentingan perut dari balik ruang sempit berterali.
Penanganan kasus yang terkesan sarat muatan politis  ini dilakukan aparat penegak hukum sejak awal Desember 2009 dan dinilai lengkap berkasnya oleh kejaksaan pada akhir Januari 2011 setelah berulangkali dikembalikan ke Polres Kupang.
Kontroversi dugaan  kasus ini adalah soal lokasi penebangan yang berada dalam kawasan hutan lindung atau tidak. Berpedoman pada pengetahuan masyarakat tentang  pal batas belanda sebagai satu-satunya tanda batas kawasan hutan lindung yang dianut oleh masyarakat menjadi aspek kritis yang perlu disandingkan dengan proses hukum atas dugaan kasus ilegal logging yang disangkakan. Kebenaran pal batas yang menjadi acuan pembenaran tindakan masyarakat didasarkan pada kenyataan bahwa pemetaan, penetapan dan penataan kawasan hutan versi pemerintah yang tak pernah melibatkan bahkan tak diketahui masyarakat. Didukung tak adanya bukti fisik yang merupakan visualisasi batas peta kawasan hutan lindung sesuai arahan undang-undang maupun kerancuan saksi dan berita acara penetapan kawasan serta peta kawasan setelah pemetaan yang melibatkan masyarakat setempat.
Tulisan ini tidak bermaksud membenarkan tindakan ke empat kakek yang didakwa tetapi mencoba mengajak pembaca untuk berpikir dan mengambil sikap objektif mengacu pada  sejumlah tindakan Negara melalui alat – alat terlegitimasinya terkait penanganan kasus ini.


PENANGANAN HUKUM OELBESAK AMBURADUL
            Proses penegakan hukum dakwaan illegal looging Oelbesak mengisahkan beberapa kenyataan kritis yang diduga merupakan kesalahan dan kegagalan beberapa alat Negara. Dugaan kesalahan kolektif alat – alat Negara didasarkan pada kenyataan sebagai berikut :
-  Pihak Kepolisian Terburu-Buru,Tanpa Diikuti Kajian Fakta Lapangan.
Kepolisian resort Kupang diduga hanya mendengar keterangan sepihak dari kehutanan tanpa melihat dan mengaitkan fakta lapangan  yang sangat rancu, janggal dan tak memenuhi standar pelanggaran langsung melakukan penangkapan dan penahanan masyarakat. Polisi mengakui percaya pada kesaksian BPKH sebagai lembaga terlegitimasi negara yang kualified bahwa lokasi penebangan berada dalam kawasan menggunakan GPS walaupun bukti fisik batas yang merupakan visualisasi batas peta sesuai arahan undang – undang kehutanan tidak ada sama sekali.
-  Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XIV adalah saksi ahli yang menyesatkan.
BPKH mengakui lalai melakukan proses rekonstuksi dan sosialisasi lanjutan sejak tenggang waktu 1976 hingga kini sebagai akibat dari kelalaian penataan hutan sesuai arahan UU Kehutanan tetapi mengklaim lokasi penebangan yang berjarak 200 meter dari jarak antara garis hubung 2 pal batas belanda dari 5 pal yang ada yang tumpukan batu pal tak satupun digeser juga kayu jati dalam lokasi yang tidak pernah disentuh masyarakat, menggunakan GPS dengan selain mengabaikan bukti fisik visualisasi batas kawasan versi pemerintah sesuai arahan UU kehutanan, juga diduga belum pasti mengeluarkan peta kaawasan hutan yang akurat dan diakui masyarakat selain Surat Keptusan Penetapan Kawasan hutan Oelbesak yang dipakai untuk memperkuat peta kawasan hutan adalah lahir dari berita acara proses penataan kawasan hutan yang tidak diketahui masyarakat (unsur dan saksi masyarakat adat ) rancu, kabur dan tidak diakui masayarakat.
-  Kehutanaan Salah Mengelola Kawasan Hutan Oelbesak
Jika asumsinya hutan lindung versi pemerintah benar adanya, aspek kritis yang perlu disandingkan adalah keterlibatan masyarakat dalam proses pemetaan, penetapan maupun penataan sesuai arahan UU kehutanan tidak ada bahkan berita acara yang prosedural diduga rancu, janggal, tidak diakui, bahkan tidak ada sama sekali selain tidak ada bukti fisik berupa pal beton, pagar, parit atau bentuk fisik lain yang menunjukan batas kawasan  hutan negara Sesuai arahan UU Kehutanan. Masyarkat hanya berpatokan pada pal batas Belanada yang ditetapkan bersama nenek moyang mereka dan sampai saat ini batu mungu alias pal batas belanda tetap ada dan dijaga. Kalau ada perluasan hutan atau penetapan batas hutan yang lain, kenapa 5 pal batas belanda tidak dimusnahkan atau digusur sampai saat ini. Aspek Historis  yang bersumber dari masyarakat seperti yang dituturkan sesepuh adat Desa Silu sebagai berikut; Kesepakatan kawasan sebagai hutan lindung Oelbesak  ada sejak datangnya bangsa belanda pada tahun 1922. Pada waktu itu mereka datang meminta dengan “oko mama” bahwa hutan tersebut jangan ditebas untuk menjaga keberadaan hewan liar jenis    rusa karena sebagian dari hutan terbut dulunya ada juga ada padang luas,sehingga mereka bisa datang berburu di hutan tersebut. Kemudian pada Tahun 1925 mereka bawa lagi “oko mama” untuk meminta agar hutan ini selanjutnya dijaga sebagai kawasan hutan lindung. Pada saat itu orang belanda diwakili oleh Tuan Kokman dan Tuan Melumas  Sedangkan kepala suku Timor pada waktu itu diwakili oleh Lalus Tapatap, Tabol Tais Bait, Nais Baihkake dan Sain Tob. Nenek moyang mereka bersama belanda  meletakan pal batas dengan upacara adat, ditandai dengan potong sapi sehingga kalau ada yang langgar maka ingat darah maka kaitan dengan mati. Maka sejak itu bukti dan cerita tetap kami jaga. Jangankan hutan, letak  dan jumlah batu pal juga dijaga sampai tidak ada yang berkurang dan digeser sampai saat ini. Selanjutnya penamaan pal batas belanda, diututurkan sebagai berikut; a).       Pal Usapi (Pal kusambi,Usapi=pohon kusambi) b).    Pal Belbelu/Kiub (Pal Kayu Ular/asam, kiub=asam) c).             Pal Haumeni (Pal Cendana) d).          Pal Suti (Tanah Tandus) e).     Pal Bijaelukef/Have (Pal telinga sapi/have)
Mengacu pada kenyataan-kenyataan kritis tersebut, diduga adanya makelar kasus dalam proses penegakan hukum karena kepentingan kelompok tertentu. Diduga mungkin kepentingan politik bersamaan dengan upaya – upaya pemerasan terhadap pihak terdakwa. Bahkan terkesan adanya upaya perampasan hak – hak masyarakat atas kepemilikan kayu legal prosedural atau lebih tepat dikatakan sebagai skenario pemiskinan masyarakat yang sudah miskin secara terorganisir oleh personal personil dalam lembaga Negara memanfaatkan legitimasi Negara sehingga merupakan penjahatan Negara melalui lembaga terlegitimasinya terhadap masyarakat yang kadang-kadang hanya dianggap berharga tak lebih karena punya hak suara.


KEGAGALAN PEMERINTAH
Negara melalui alat – alat terlegitimasinya berperan mengatur kelangsungan hidup masyarakatnya demi pencapaian kesejahteraan sosial. Oleh karenanya, sesuai arahan amanah UUD 45 maka hutan sebagai salah satu sumber daya alam diatur dalam pengelolaannya oleh Negara. Dalam perjalanan bangsa ini, sejak Indonesia merdeka, berbagai program pemerintah terkait kehutanan telah dilaksanakan. Salah satunya adalah Gerakan Kehutanan (Gerhan) saat era orde baru yang katanya dibiayai lembaga asing dengan dana yang cukup besar. Gerhan saat itu, khususnya di pulau Timor melibatkan masyarakat dalam penanaman berbagai anakan pohon produktif,  kebanyakan pada kawasan perburuan zaman belanda yang keaslian hutannya dijaga oleh masyarakat setempat. Justru pada saat itulah pembalakan hutan secara besar – besaran di pulau Timor ini terjadi. Diduga penebangan berbagai hutan alam untuk penanaman anakan pohon produktif ini adalah skenario pencurian cendana dan kayu pohon lainnya serta manipulasi penggunaan dana asing untuk program Gerhan tersebut bersamaan dengan adanya pencaplokan lahan untuk dijadikan kawasan hutan Negara secara sepihak tanpa diketahui masyarakat yang agraris.
Saat ini, ditengah amburadulnya penataan kawasan hutan, seiring dengan berbagai kegagalan pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja sektoral di daerah, masyarakat agraris yang semakin bertambah jumlahnya disulitkan dengan upaya perluasan lahan pertanian akibat wilayah hutan Negara yang dominan. Sehingga optimalisasi pendapatan masyarakat pulau Timor di sector pertanian sekaligus mendukung program Bapak Gubernur NTT hanya akan menjadi mimpi besar kita dan dipastikan jumlah TKI asal pulau Timor akan semakin bertambah sehingga pasti akan semakin besarnya dugaan pembohongan publik SBY – Boediono maupun frans – Esthon sebagai perpanjangan tangan akibat kegagalan menciptakan dan mengoptimalkan lapangan kerja salah satunya di sektor pertanian.
Kegagalan pemerintah dalam penataan kawasan selain merugikan masyarakat, juga merupakan upaya penjajahan masyarakat secara terorganisir apalagi didukung dengan berbagai produk undang – undang sektoral (tambang, dll) yang dibuat oleh lembaga asing yang substansinya lebih menguntungkan pemodal/investor yang didominasi pihak asing. Jika dibiarkan dan penataan kawasan hutan tak secepatnya dilakukan, dikhawatirkan kekuatan masa rakyat akan dibangun untuk melawan rezim pemerintah yang tak merepresentasikan kepentingan rakyat. Pemerintah jangan anggap remeh kekuatan rakyat tertindas yang belum menyadari dugaan penjajahan non fisik yang sementara berlangsung saat ini.


ARAHAN SOLUSTIF
Jika makelar kasus atau pengorganisasian upaya pemiskinan masyarakat ini tak dihentikan, akan menimbulkan dampak ketidakpuasan masyarakat umum terhadap penegak hukum khususnya dan pemerintah di daerah ini yang pada akhirnya menghambat partisipasi dan dukungan masyarakat terhadap upaya pembangunan untuk keluar dari kemiskinan dan keterbelakangan pembangunan.
Sikap apatis pemerintah daerah dan DPRD Kab. Kupang yang tidak mencirikan lembaga rakyat sebaiknya dihilangkan. Masukan – masukan konstruktif personal yang tak mampu dilembagakan semakin membuat rakyat apatis terhadap kinerja wakilnya sehingga diduga lembaga rakyat juga terlibat upaya pemiskinan masyarakat karena muatan politis. Sehingga diharapkan pembohongan – pembohongan publik yang pernah dilakukan tak diulangi lagi. Sekali lagi antar lembaga pemerintah perlu secepatnya berkoordinasi secepat keinginan membahas anggaran yang sebenarnya tidak lebih gampang dari pada menyelesaikan kasus ini.
Untuk hal ini, penulis mencoba menawarkan langkah solustif yang mungkin dapat dilakukan oleh instansi pemerintah terkait yaitu perlu ada koordinasi secepatnya antar jajaran muspida Kab. Kupang dengan pemerintah propinsi, Kehutanan dan berbagai instansi terkait untuk melakukan penataan ulang kawasan yang prosedural sesuai arahan UU kehutanan menyikapi kesediaan BPKH pusat yang akan melakukan rekonstruksi penataan kawasan di beberapa titik di Indonesia termasuk di pulau Timor tahun 2011 ini. Terima kasih.





*Koordinator Aliansi Mahasiswa Peduli Kesetaraan Rakyat Kabupaten Kupang (AMPERA Kab. Kupang)